Vhie

Life Travelogue

MATERI MODUL 3.1

Bujukan Moral dan Dilema Etika

Bujukan Moral merupakan situasi pengambilan keputusan saat seseorang dihadapkan pada kasus benar melawan salah. Sedangkan Dilema Etika adalah sebuah situasi saat seseorang dihadapkan pada keadaan yang keduanya benar namun bertentangan dalam pengambilan keputusan.

Paradigma, Prinsip, dan Langkah Pengambilan Keputusan

Pemahaman yang baik tentang pengambilan keputusan, sudah seharusnya kita menghargai konsep dan prinsip kebajikan universal yang disepakati bersama, seperti Keadilan, Tanggung Jawab, Kejujuran, Bersyukur, Lurus Hati, Berprinsip, Integritas, Kasih Sayang, Rajin, Komitmen, Percaya Diri, Kesabaran, dan masih banyak lagi.

4 paradigma pengambilan keputusan, yaitu:

1.    Individu lawan masyarakat (individual vs community)

2.    Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)

3.    Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)

4.    Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)

Pengambilan keputusan diperlukan prinsip-prinsip yang melandasinya. Terdapat tiga prinsip yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan, yakni :

1.      1. Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking),

2.      2. Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking),

3.     3.  Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

Keputusan yang diambil haruslah tepat, arif, dan bijaksana. Maka sebagai seorang pemimpin pembelajaran membutuhkan pengujian yang selaras dengan prinsip dasar pengambilan keputusan yang etis. Dalam hal ini terdapat 9 langkah untuk menguji keputusan dalam situasi dilema etika.

1.    Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini.

2.    Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini.

3.    Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini.

4.    Pengujian benar atau salah. Ada uji legal, uji regulasi, uji intuisi, uji halaman depan koran, dan uji panutan/idola.

5.    Pengujian Paradigma Benar lawan Benar.

6.    Melakukan Prinsip Resolusi.

7.    Investigasi Opsi Trilema.

8.    Buat Keputusan.

9.    Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan.

KONEKSI ANTAR MATERI

Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani tentu memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan dibidang pendidikan. Ketika guru memahami bahwa seringkali di sekolah ditemukan kasus dilema etika dan bujukan moral, guru harus memiliki kompetensi dan peran sesuai dengan Pratap Triloka tersebut dalam pengambilan keputusan. Pratap Triloka dapat menjadi wawasan pertimbangan dalam menentukan suatu keputusan pada kasus dilema etika dan bujukan moral. Selain guru menjadi teladan yang baik, motivator, fasilitator dan mampu menumbuhkan karakter profil pelajar Pancasila pada murid, guru juga diharapkan mampu melakukan pengambilan keputusan menggunakan 4 paradigma, 3 prinsip dan 9 langkah pengambilan keputusan yang pada akhirnya tetap berpihak pada murid.

 Nilai-nilai yang kita miliki akan selalu berpengaruh pada prinsip yang kita ambil dalam pengujian segala keputusan. Kita akan cenderung melihat nilai yang kita pahami dalam menimbang beberapa pilihan keputusan, karena nilai yang kita pegang bisa menjadi salah satu tolak ukur dalam pengambilan prinsip yang tepat. Ada 3 prinsip pengambilan keputusan yaitu Berpikir Berbasis Hasil Akhir (End-Based Thinking), Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking) dan Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking) yang ketiganya ini tidak lepas dari nilai yang kita pegang dan norma yang hadir di lingkungan kita.

Materi coaching akan sangat bernilai bila dipadukan dengan 9 langkah pengambilan keputusan. Dalam proses coaching yang menggunakan alur TIRTA akan ditemukan tahap Rencana Aksi. Pada tahap ini, seseorang telah dituntun untuk mengidentifikasi permasalahannya yang kemudian dituntun untuk menemukan solusi dan rencana aksi. Hal tersebut sama dengan seseorang diajak mengambil keputusan terhadap apa yang sedang dihadapinya. Bahkan dengan menggunakan coaching, masalah yang teridentifikasi dapat diselesaikan dengan menggunakan kelebihan yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga proses coaching memiliki peranan penting dalam mepertajam pengambilan keputusan yang bertanggungjawab.

Seorang guru seyogyanya memiliki kemampuan dalam mengelola dan menyadari aspek social emosionalnya sendiri. Bagaimanapun, dalam pengambilan sebuah keputusan, seorang guru haruslah berpikir jernih agar tidak terdapat tendensi khusus dalam pengambilan sebuah keputusan. Dengan kemampuan mengelola dan menyadari aspek social dan emosional, guru akan cenderung pada posisi  netral dan dapat melihat permasalahan dengan baik. Selain itu, guru juga akan tetap mengingat visi, nilai dan tujuan bersama yang ia pahami. Sehingga dengan kesadaran social dan emosional, keputusan yang diambil oleh guru akan lebih baik, lebih tajam dan sesuai dengan solusi atas permasalahan yang teridentifikasi, yang tentunya juga tetap berpihak pada murid.

Sifat, perilaku dan cara berpikir sesorang salah satunya ditentukan oleh latar belakang berbagai pembelajaran yang ia dapatkan. Begitu juga dengan nilai-nilai yang dipahami dan diyakini oleh pendidik tentu berawal dari pengalaman yang ia terima. Sehingga dalam penanganan suatu kasus moral atau etika, seorang pendidik akan menimbang dan membandingkan dengan apa yang pernah ia dapatkan. Bila pengalaman yang ia terima dalam melanggar etika yang didapatnya hukuman, maka pendidik tersebut sedikit banyak akan memberikan hukuman pula. Jadi nilai yang dianut oleh seorang pendidik juga akan mempengaruhi pendidik dalam proses pengambilan keputusan sebagai pertimbangan.

Keputusan yang tepat itu tentunya tidak selalu seragam dalam menyelesaikan segala bentuk permasalahan yang sama. Dalam pengambilan keputusan hendaknya mempertimbangkan keadaan lingkungan dan waktu saat terjadinya permasalahan. Agar terlihat alasan yang dimiliki dalam melakukan suatu hal tersebut. Kondisi saat terjadinya sebuah permasalahan juga tentu berbeda-beda antara individu yang satu dengan yang lain. Sehingga penyelesaiannya pun akan berbeda-beda antara individu yang satu dengan yang lain. Keputusan yang tepat hendaknya berpedoman pada filosofi Ki Hajar Dewantara yakni berpihak pada murid. Selain itu juga tidak menggunakan sanksi atau hukuman, serta memberikan penguatan melalui restitusi. Setelah terciptanya keputusan juga perlu adanya uji keputusan agar sesuai dengan kebutuhan dan tepat sasaran pada solusinya.

Tantangan dalam hal pengambilan keputusan akan selalu muncul baik dari dalam maupun luar lingkungan sekolah. Salah satunya perbedaan cara berpikir dan nilai yang dipegang masing-masing individu tentu tidaklah sama. Menyamakan persepsi antar individu di lingkungan sekolah juga bukan hal yang mudah. Untuk menjalankan pengambilan keputusan yang tepat terhadap kasus-kasus dilemma etika, rasanya memang perlu adanya perubahan sudut pandang pemikiran dengan menggunakan 4 paradigma yaitu individu lawan kelompok, rasa keadilan lawan rasa kasihan, kebenaran lawan kesetiaan, dan jangka panjang lawan jangka pendek.

Sebagai pemimpin pembelajaran di kelas, diperlukan kemampuan mengakomodir perbedaan kemampuan belajar murid. Hasil dari proses pengambilan keputusan tersebut akan berpengaruh pada kesesuaian dengan pembelajaran yang dibutuhkan oleh murid. Untuk itu guru dapat mengambil keputusan dengan melakukan pembelajaran berdiferensiasi. Dimulai dengan mengetahui bagaimana kesiapan, minat dan profil murid sebagai proses identifikasi sebelum pengambilan keputusan terkait strategi pembelajaran yang akan dilakukan.

Guru sebagai pemimpin pembelajaran, tentu setiap keputusan yang diambilnya terkait pembelajaran akan mempengaruhi masa depan murid-muridnya. Pembelajaran yang diberikan hari ini, akan membentuk sifat murid dikemudian hari. Apabila keputusan yang diambil oleh guru tersebut sesuai dengan pembelajaran bermakna, maka murid akan terus berkembang dalam hidupnya dan memegang nilai-nilai baik yang ditanamkan.

Pengambilan keputusan adalah hal penting dalam segala aspek. Tanpa keterampilan pengambilan keputusan, kita tidak akan bergerak kemana-mana. Pengambilan keputusan harus dimiliki oleh seorang pemimpin pembelajaran yang berdasar pada nilai-nilai kebajikan universal, bertanggungjawab terhadap segala konsekuensi dan berpihak pada murid. Selain itu, pengambilan keputusan seorang pemimpin pembelajaran setidaknya berpedoman pada filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Trilokanya, berlandaskan pada nilai dan peran guru penggerak, berpedoman pada pembelajaran berdiferensiasi serta social emosional, serta memiliki keterampilan coaching yang baik agar dapat menjalankan langkah pengambilan keputusan yang tepat dan efektif. Jadi materi-materi sebelumnya adalah berupa pedoman da nisi, sedang pada materi bab ini berisi alat-alat yang digunakan untuk eksekusi.

Setelah mempelajari modul ini, wawasan saya semakin terbuka. Materi pada modul ini dapat mempertajam analisa dan keputusan yang saya ambil pada permasalahan dilemma etika dan bujukan moral. 4 paradigma (individu lawan kelompok, rasa keadilan lawan rasa kasihan, kebenaran lawan kesetiaan, dan jangka panjang lawan jangka pendek), 3 prinsip (berbasis hasil akhir, berbasis rasa kasihan, berbasias peraturan) dan 9 langkah pengambilan keputusan bagi saya adalah rangkaian yang sangat detail dan urut dalam menentukan sebuah keputusan yang tepat. Hal yang di luar dugaan saya yakni permasalahan-permasalahn dilemma etika yang sepertinya sederhana dan berkaitan dengan nilai hidup ternyata tidak sesederhana itu dan membutuhkan uji keputusan yang sungguh-sungguh dalam menentukan hasil akhirnya.

Sebagai pemimpin pembelajaran maupun pemimpin sebuah program atau kepanitian tentu banyak hal yang dihadapi. Tidak terkecuali permasalahan dilemma etika. Pengambilan keputusan yang yang dulunya saya lakukan tidak melewati berbagai uji keputusan yang terdapat dalam modul ini. Berbagai macam pertimbangan dalam pengambilan keputusan tentu pernah saya lakukan, namun modul ini lebih memperkaya pengujian keputusan yang dihadirkan. Sehingga keputusan bisa lebih tajam, terarah dan sesuai.

Dampak yang paling saya rasakan adalah terkait cara pandang saya terhadap sebuah permasalahan. Saya lebih berhati-hati dalam mengidentifikasi masalah yang hadir. Saya juga berpedoman pada prinsip dan paradigma pengambilan keputusan dalam menimbang hasil identifikasi sebuah permasalahan. Berikutnya saya mulai menggunakan 9 langkah pengambilan keputusan yang lebih urut dan rinci dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya.

Topik pada modul ini sangat penting bagi saya. Saya dapat memahami bagaimana seharusnya seorang pemimpin pembelajaran maupun pribadi mengabil sebuah keputusan. Saya mendapatkan wawasan yang luar biasa dari modul ini terkait keterampilan pengambilan keputusan. Karena setiap keputusan yang dihadirkan tentu tidak hanya berpengaruh pada diri saja tapi juga kehidupan orang-orang di sekitar kita, maka keterampilan pengambilan keputusan perlu dimiliki oleh siapapun. Konsep-konsep materi yang terdapat pada modul ini sangat membantu dalam mengarahkan dan memudahkan saya dalam melakukan proses pengambilan keputusan.

Berikut saya sertakan link power point tentang pengujian permasalahan dilema etika.

CONTOH PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN PENGUJIAN KASUS DILEMA ETIKA

Rancangan Tindakan untuk Aksi Nyata

Judul Modul           : Coaching Supervisi Akademik

Nama Peserta         : Evy Nur Laila

 


Latar Belakang

Guru selalu memberikan yang terbaik bagi muridnya dalam pembelajaran di kelas. Segala hal diupayakan untuk memberikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan murid. Namun dalam perjalanannya, seorang guru tentu membutuhkan sharing, umpan balik dan sudut pandang pihak lain tentang pengembangan-pengembangan yang telah dilakukannya. Kontinuitas gerak yang dimiliki guru juga dapat menjadikan guru berada pada posisi stagnan dengan pola dan cara pembelajaran yang diberikannya di kelas.

 

Hal-hal yang memungkinkan guru untuk tidak bergerak dalam pengembangan pembelajaran sudah seharusnya diantisipasi. Kinerja guru tentu juga mempengaruhi progres sekolah. Apabila kinerja guru baik dan terus dinamis maka tercipta lingkungan sekolah yang baik pula, begitu juga sebaliknya. Sehingga supervisi akademik menjadi perlu untuk dilaksanakan oleh Kepala Sekolah terhadap guru-guru yang berada di sekolah tersebut. Karena bagaimanapun, perkembangan dan cara yang baik tanpa refleksi dan evaluasi masihlah memiliki celah untuk ketidaksempurnaan dan tidak menjamin tanpa kekeliruan atau kesalahan. Supervisi Akademik membantu meminimalisir ketidaksempurnaan dan trus meningkatkan pengembangan dan perbaikan.

 

Tujuan

Guru dapat melakukan perbaikan dan menguatkan pengembangan yang telah dilakukannya dalam pembelajaran di kelas. Guru dapat mengembangkan kekuatan dari dalam dirinya untuk menemukan solusi yang terhadap rancangan tindak lanjut yang ia harapkan. Guru memiliki kesadaran dan komitmen dalam menjalankan rancangan tindak lanjut yang telah disepakati bersama untuk pembelajaran yang lebih baik dan berpihak pada murid.

 

Tolok Ukur

Indikator yang dapat dilihat yakni dari hasil pengembangan rancagan tindak lanjut yang dilakukan oleh guru. Perubahan di kelas yang lebih aktif dan dinamis. Guru lebih bersemangat dalam melakukan proses pembelajaran yang berpihak pada murid.

 

Linimasa Tindakan yang Akan Dilakukan

Ø  Tanggal 15 Oktober 2022– 17 Oktober 2022 (mengkomunikasikan dengan Kepala Sekolah dan guru pengajar)

Ø  Tanggal 18 Oktober 2022- 19 Oktober 2022 (melakukan pra-observasi dengan guru kelas)

Ø  Tanggal 20 Oktober 2022- 22 Oktober 2022 (membuat catatan lembar observasi dan melakukan observasi pembelajaran)

Ø  Tanggal 23 Oktober 2022- 24 Oktober 2022 (melakukan percakapan pasca observasi dengan pemberian umpan balik)

Ø  Tanggal 25 Oktober 2022 (berdiskusi dan menyepakati rencana pengembangan diri dan refleksi diri praktik coaching)

 

Dukungan yang Dibutuhkan

·         Dukungan berupa sarana seperti tempat pra-observasi dan pasca observasi, printer, kertas dan bolpoin.

·         Dukungan berupa bantuan dari Kepala Sekolah untuk ikut memantau dalam pelaksanaan supervise akademik.

Dukungan berupa sarana dapat diperoleh dari sumber daya perlengkapan sekolah melalui izin dari Kepala Sekolah dan bagian Sarana Prasarana.


Peran seorang guru ialah mendidik murid untuk menemukan dan mengembangkan kekuatan kodratnya. Dalam perjalanannya, guru juga banyak memberikan masukan dan penyelesaian permasalahan yang dihadapi. Hal ini cukup membantu, namun efek panjangnya adalah murid akan senantiasa bergantung pada guru dalam menyelesaikan persoalan. Murid perlu dipandu untuk menemukan solusi atas permasalahan yang sedang ia hadapi dengan menggunakan asset yang ada dalam dirinya. Lalu bagaimana supaya murid dapat menemukan solusi dari dalam dirinya sendiri?

 


Setelah mempelajari materi coaching pada modul 2.3 ini, saya memahami bahwa murid perlu dituntun untuk menemukan jalan dari dalam dirinya sendiri. Memberikan mereka kemudahan dan terus membantu campur tangan dalam penyelesaian permaslahan mereka tentu baik, tapi tidak selamanya baik. Kemandirian di dalam diri mereka juga dapat terkikis, begitu juga dengan kepercayaan diri mereka dalam menyelesaikan suatu hambatan atau permasalahan. Coaching dapat dijadikan salah satu metode yang tepat dalam menuntun dan menumbuhkan pencarian solusi dari dalam diri murid. Dengan begitu, murid akan lebih percaya diri menghadapi berbagai permasalahan. Selain itu juga murid akan bertanggungjawab dan berkomitmen dengan solusi yang ia temukan sendiri.

 

Coaching merupakan suatu usaha yang dilakukan coach dalam mendampingi coacheenya untuk memahami masalah serta posisi coachee dalam permasalahan tersebut. Seorang coach akan mengajukan berbagai pertanyaan berbobot kepada coacheenya guna mengarahkan kepada pemecahan masalahnya. Seorang coach bertindak untuk mengembangkan kemampuan coacheenya untuk menggunakan kekuatan yang ia miliki dalam menemukan solusi. Hal ini sangat berbeda dengan metode konseling dan mentoring, dimana sedikit banyak masih ikut andil dalam memberikan solusi atas suatu hal yang sedang dihadapi.

 

Coaching ini bukanlah suatu kegiatan untuk sekedar curah pendapat saja. Tetapi Coaching lebih kepada proses pembelajaran. Coaching merupakan sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis dimana coach memfasilitasi peningkatan performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi bagi coachee (Grant 1999).

 

Adapun teknik Coaching yang terkenal adalah coaching dengan alur TIRTA yakni akronim dari Tujuan utama, Identifikasi masalah, Rencana aksi, Tanggungjawab. Keempat hal ini harus digunakan dalam proses mendampingi coachee. Selain itu seorang coach harus memenuhi tiga kriteria utama seorang coach yaitu kehadiran penuh, mendengarkan dengan rasa, dan memberikan pertanyaa-pertanyaan berbobot. Dengan demikian proses pengidentifikasian masalah akan semakin signifikan dan tepat sasaran. Sehingga rencana aksi jadi mudah dirumuskan, dan solusi pemecahan masalah dapat ditemukan.

 

Peran saya sebagai guru, seyogyanya dapat memahami dan menuntun murid dalam menggali kemampuan dirinya dan mengembangkan kekuatan yang ia miliki. Keberagaman kemampuan murid dapat menjadi suatu tantangan tersendiri bagi saya. Karena dengan beragamnya kemampuan murid, akan beragam pula kebutuhan belajar murid. Dengan menggunakan pembelajaran berdiferensiasi, saya cukup terbantu dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pembelajaran berdiferensiasi ini pun akan semakin tajam bila menggunakan teknik coaching.

 

Teknik coaching dapat dilakukan pada semua murid baik yang kemampuannya lebih maupun yang masih mendasar. Penerapan teknik scaffolding yang dibarengi dengan teknik coaching akan menghasilkan sesuatu yang lebih efektif. Murid tidak akan merasa tertinggal karena ia menyadari kekuatan/kemampuan yang ia miliki untuk menggenapi yang dianggap kekurangan olehnya. Murid tidak akan merasa dibedakan, malah justru merasa didukung dan ini dapat meningkatkan pencapaiannya.

 

Pembelajaran sosial emosional menjelaskan bahwa seseorang haruslah dalam keadaan kesadaran penuh atau mindfullness untuk menyadari emosi yang sedang ia rasakan. Dengan demikian orang tersebut dapat membuat keputusan jauh lebih baik dari sebelumnya. Selain pengenalan emosi, pengelolaan diri yang baik juga penting. Hal ini dapat dilakukan dalam hal pengelolaan waktu atau disiplin.

 

Kesadaran sosial seperti empati juga sangat penting untuk dipelajari. Teknik coaching dapat digunakan dalam membantu menuntun murid mengenali apa yang ia rasakan, apa yang ia alami, memahami posisinya dalam perasaan tersebut hingga menentukan solusi yang tepat untuk emosional dan sosial yang ia hadapi. Dengan menggunakan pertanyaan berbobot, akan muncul kesadaran diri, kesadaran sosial, keputusan yang bertanggungjawab, dan manajemen diri yang baik. Selain itu pada alur TIRTA terdapat Tanggungjawab yang berkaitan dengan komitmen. Keterampilan sosial dan emosional membutuhkan latihan sebagai wujud resiliensi seseorang dalam memecahkan masalahnya. Dalam teknik coaching ada tanggung jawab dimana komitmen harus dilakukan. Dengan tujuan aksi nyata dari apa yang akan ia lakukan dalam coaching dapat terealisasi dengan baik.

 

Berdasarkan pemaparan di atas, keterampilan coaching menjadi suatu hal yang penting untuk dikuasai oleh guru selaku pemimpin pembelajaran. Baik untuk coaching permasalahan yang dialami murid maupun permasalahan yang dialami oleh sesama guru. Dengan memiliki paradigma berpikir coaching yakni fokus pada coachee, bersikap terbuka dan ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang kuat, mampu melihat peluang baru dan masa depan. Serta prinsip coaching yang terdiri dari kemitraan, proses kreatif dan memaksimalkan potensi. Guru akan memiliki wawasan yang luas, pergerakan yang luwes dan memberikan efek positif bagi lingkungannya. Akan banyak murid dan guru di sekitarnya yang semakin memaksimalkan potensinya dan menemukan solusi dari dalam diri dengan teknik coaching yang diberikan. Teknik coaching akan sangat membantu dalam membimbing dan memfasilitasi perbaikan proses belajar yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran serta pengelolaan kelas. Sehingga tercipta pembelajaran yang aktif dan dinamis yang sesuai dengan kebutuhan murid.

 

 

Menurut Tomlinson (2001:45), pembelajaran berdiferensiasi adlah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Pembelajaran berdiferensiasi mengakomodir kebutuhan belajar murid. Guru memfasilitasi murid sesuai dengan kebutuhannya, karena setiap murid memiliki keunikannya masing-masing. Guru mendorong perkembangan murid sesuai dengan kebutuhannya.


Pembelajaran berdiferensiasi memberikan keleluasaan pada murid untuk meningkatkan potensinya sesuai dengan kesiapan belajarnya. Pembelajaran ini menjadi salah satu proses atau filosofi untuk pengajaran yang efektif dengan memberikan beragam cara untuk memahami informasi baru untuk semua siswa dalam komunitas ruang kelasnya yang beraneka ragam. Termasuk cara untuk mendapatkan konten; mengolah, membangun dan menalar gagasan; dan mengembangkan produk pembelajaran dan ukuran penilaian sehingga semua murid dengan latar belakang kemampuan beragam bisa belajar dengan efektif. Proses mendiferensiasikan pembelajaran dilakukan untuk menjawab tantangan keberagaman murid serta memenuhi kebutuhan, gaya atau minat belajar dari masing-masing murid.


Pembelajaran berdiferensiasi terdengar sulit dilaksanakan. Tapi dalam pengaplikasiannya, hal tersebut tidaklah sulit. Guru tidak harus berlari ke sana ke mari seperti manusia dengan kekuatan super dan selalu ada bila dibutuhkan oleh murid dengan kebutuhan yang berbeda pada waktu tersebut. Guru dapat melakukan pembelajaran berdiferensiasi dengan memulai menganalisa kesiapan belajara murid. Apakah kondisi murid lebih mudah memahami materi yang konkret ataukah abstrak? Materi yang bersifat terbuka ataukah tertutup? Dan lain sebagainya. Berikutnya, guru dapat menganalisa dari minat belajar murid. Apa saja hobi/ kegemaran murid di kelas? Atau hal apa saja yang selalu mereka ingin ketahui lebih dalam. Yang terakhir, guru dapat menganalisa kebutuhan murid dari profil pelajar. Apakah murid-murid di kelas lebih senang menyendiri ataukah lebih suka jika bersama? Lebih senang dalam ketenangan atau dalam kebersamaan? Dan lain sebagainya.


Hasil analisa tersebut dapat membantu guru untuk memilih diferensiasi konten, proses atau produk. Guru diberikan banyak pilihan diferensiasi dalam melakukan pembelajaran. Guru dapat memilih berdiferensiasi dalam salah satu aspek saja dari konten, proses, atau produk. Guru juga dibolehkan melakukan diferensiasi pada seluruh aspek tersebut. Jadi guru memiliki kebebasan dalam mendiferensiasikan pembelajaran sesuai dengan kemampuannya dan tentunya tetap berpihak pada murid. Dengan memberikan berbagai jenis bentuk konten/materi, bermacam-macam cara pemahaman dan pengerjaan materi, serta kebebasan bagi murid dalam memilih bentuk hasil/produk dari materi diharapkan dapat memberikan ruang pengembangan sesuai dengan kemampuan murid. Selain murid mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuannya, guru pun menjadi lebih kreatif dan memiliki wawasan luas untuk terus mengembangkan potensinya.


Pembelajaran berdiferensiasi membantu murid berkembang sesuai dengan kemampuan, minat dan capaiannya. Murid tidak perlu mengalami lompatan dan menyisakan pemahaman rumpang untuk sampai pada capaian akhir. Tapi murid dituntun sejalan dengan kodrat alam dan kodrat zaman untuk perlahan dan terus berkembang tahap demi tahap sesuai dengan kekuatan kodratnya. Tentu pembelajaran dan pemahaman materi akan menyenangkan tanpa hadirnya paksaan, tekanan dan tuntutan untuk sampai pada pemahaman tertentu.


Pembelajaran diferensiasi dalam perjalanannya juga dapat memunculkan perasaan kesenjangan diantara para murid. Namun hal ini dapat disiasati dengan pengembangan penilaian yang diberikan. Keberagaman kemampuan yang dimiliki murid pada akhirnya mempengaruhi pengembangan penilaian yang dilakukan oleh guru ataupun sesama teman. Instrumen penilaian sebaiknya juga mengadaptasi dari diferensiasi pembelajaran yang dilakukan. Mungkin murid bisa saja memiliki nilai yang sama dengan kemampuan yang berbeda. Maka dalam hal ini, guru dapat menambahkan keterangan sesuai dengan kemampuan dan capaian yang dimiliki murid pada materi tersebut.


Pembelajaran berdiferensiasi akan lebih optimal dilakukan bila didukung dengan pembiasaan pelaksanaan budaya positif di sekolah. Budaya positif yang menghasilkan lingkungan positif dapat membantu murid lebih fokus dan lebih nyaman dalam melaksanakan pembelajaran. Kenyamanan yang timbul dari pembiasaan budaya positif akan menyugesti murid untuk lebih mudah dalam memahami dan menerima pembelajaran berdiferensiasi. Dimana murid tidak merasa takut ataupun minder karena mereka memiliki perbedaan kemampuan antara yang satu dengan yang lain. Mereka tidak lagi memiliki kekhawatiran ketika ingin mengkreasikan hasil produk kinerja murid yang sesuai dengan profil murid yang dimilikinya.  Sehingga pembelajaran berdiferensiasi dapat diaplikasikan dengan baik dan mudah apabila telah didukung dengan terlaksananya budaya positif di sekolah. Pada akhirnya, pembelajaran berdiferensiasi tidak lepas dari filosofi Ki Hajar Dewantara yakni pembelajaran yang berpihak pada murid untuk menuju terwujudnya profil pelajar Pancasila dan tercapainya hidup yang selamat dan berbahagia.

 


    Pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. (Tomlinson, 2001: 45)


3 Strategi Pembelajaran Berdiferensiasi

  • Ø  Kesiapan Belajar
  • Ø  Minat Belajar
  • Ø  Profil Pelajar


Diferensiasi Konten

Konten di sini adalah berhubungan dengan materi atau segala hal yang akan disampaikan kepada murid. Konten dapat berupa penyampaian dengan menggunakan alat peraga, visual maupun audio visual. Dalam melakukan diferensiasi konten, pengajar harus mengacu pada kesiapan belajar murid. Apakah murid mampu menerima pola yang abstrak atau kah harus yang konkret, membutuhkan sesuatu yang fundamental atau kah yang transformatif. Selain itu juga dengan melihat beragam minat murid dan profil pelajar. Dalam membuat diferensiasi konten dapat ditinjau dengan menggunakan ‘’The Equalizer’’ milik Carol Ann Tomlinson.

Diferensiasi Proses

Hal-hal yang dapat dilakukan pada pengaplikasian diferensiasi proses pada pembelajaran yaitu dengan kegiatan berjenjang pada murid, memberikan pertanyaan pemandu/ tantangan, membuat agenda individual sesuai keragaman kemampuan/ kebutuhan murid, dan memvariasikan lama waktu pengerjaan maupun pemahaman bagi murid.


Diferensiasi Produk

Produk yang dimaksudkan adalah hasil dari proses yang dilakukan oleh murid. Produk bisa berupa benda/karya seperti gambar, lukisan, makalah ataupun inovasi lainnya. Selain itu juga dapat berupa karya non benda seperti deklamasi puisi, pidato, presentasi dan lain sebagainya.

Pada pelaksanaan diferensiasi produk, hal yang perlu diperhatikan adalah memberikan tantangan keragaman/ variasi hasil sesuai dengan kemampuan/minat murid dan memberikan murid pilihan bagaimana mereka dapat mengekspresikan pembelajaran yang diinginkan.


Apa Ekspektasi yang Diharapkan dari Murid pada Diferensiasi Produk?

  • ü  Kualitas pekerjaan
  • ü  Konten yang harus ada dalam produk
  • ü  Bagaimana harus dikerjakan
  • ü  Apa sifat dari produk akhir yang diharapkan tersebut

 

Iklim Diferensiasi

  • ·         Setiap orang dalam kelas akan menyambut dan merasa disambut kehadiran dan keberadaannya oleh orang lain.
  • ·         Terciptanya suasana saling menghargai satu sama lain
  • ·         Merasakan kenyamanan dalam pembelajaran baik dalam menyampaikan pendapat dan mengerjakan tugas karena tidak takut salah
  • ·         Ada harapan bagi pertumbuhan warga kelas kea rah yang lebih positif
  • ·         Guru mengajar untuk mencapai kesuksesan
  • ·         Ada penerapan keadilan dalam bentuk nyata
  • ·         Guru dan murid berkolaborasi untuk pertumbuhan dan kesuksesan bersama

 

Penilaian Sebagai Komponen dalam Pembelajaran Berdiferensiasi

Proses penilaian memegang peranan yang sangat penting dalam praktik pembelajaran berdiferensiasi. Guru diharapkan memiliki pemahaman yang berkembang secara terus menerus tentang kemajuan akademik murid-muridnya agar ia bisa merencanakan pembelajaran sesuai dengan kemajuan tersebut. Hasil penilaian dari guru akan selalu berkaitan dengan bagaimana guru membuat rancangan pembelajaran yang berdiferensiasi beserta pelaksanaannya pada tahapan pembelajaran berikutnya.

Penilaian Formatif memiliki komponen assessment for learning (penilaian berkelanjutan atau yang dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung) dan assessment as learning (penilaian sebagai proses belajar dan melibatkan murid-murid secara aktif dalam kegiatan penilaian tersebut). Sedangkan penilaian Sumatif dapat menggunakan assessment of learning (dilakukan setelah sebuah proses pembelajaran selesai, biasanya digunakan untuk membuat keputusan seperti memutuskan nilai rapor anak, kenaikan kelas, dan lain sebagainya)

Adapun strategi penilaian formatif dapat dilakukan dengan menggunakan Tiket Keluar (Exit Ticket), Berbagi 30 Detik, Tiket Masuk, Refleksi, Pojok Pemahaman, Strategi 5 Jari, 3-2-1, Nama dalam Toples dan beragam strategi lainnya.

Sebagai pengajar yang memahami keberagaman kebutuhan siswa tentu akan memantik ide-ide dalam proses pembelajaran. Pembelajaran berdiferensiasi dapat menjadi salah satu pilihan bagi pendidik dalam menaklukan keberagaman kemampuan dan minat murid dalam melakukan proses pembelajaran. Guru sebagai pemimpin pembelajaran seyogyanya memahami bahwa kemana arah pembelajaran justru bergantung padanya. Dengan iklim diferensiasi, guru akan lebih mudah dalam mengelola kelas dan tumbuh kembang murid juga akan berjalan sesuai kapasitas murid. Dengan pembelajaran berdiferensiasi, murid dapat memiliki kemerdekaan dalam menghasilkan produk sesuai dengan kapasitas minat dan kemampuannya. Sehingga tidak ada murid yang merasa tertinggal atau merasa bodoh karena dinilai dari sisi yang berkebalikan dengan minat dan kemampuannya. Salam Semangat Bapak/Ibu guru Hebat!.





Judul Modul           : Budaya Positif (Keyakinan Kelas)

Nama Peserta         : Evy Nur Laila


Latar Belakang

Tidak sedikit siswa di dalam kelas yang tidak fokus dengan pembelajaran dikarenakan kurangnya rasa memiliki norma yang berlaku di kelas. Sehingga perlu melibatkan siswa dalam menentukan keyakinan kelas pada proses pembelajaran. Selama ini kesepakatan yang ada hanya berjalan satu arah, dari guru yang harus ditaati oleh siswa. Perlunya keyakinan kelas dari dua arah untuk bersama melakukan kebajikan universal selama pembelajaran berlangsung.


Tujuan

Siswa merasa memiliki dan bertanggungjawab atas kesepakatan yang ada di kelas. Harapannya siswa dapat melakukan hal tersebut atas dasar motivasi internal dan bukan karena paksaan.


Tolok Ukur

Indikator yang dapat dilihat yakni dari perubahan perilaku siswa yang tadinya acuh dengan tugas di kelas menjadi lebih aktif dan senang mengerjakan tugas yang diberikan guru. Selain itu perilaku siswa yang lebih peduli terhadap teman lainnya dalam melakukan diskusi kelompok atau pola pembelajaran lainnya. Hal lainnya lagi, kelas terjaga kebersihannya karena merupakan tanggungjawab bersama.


Linimasa Tindakan yang Akan Dilakukan

Ø  Tanggal 1 September 2022– 3 September 2022 (mengkomunikasikan dengan Kepala Sekolah, guru pengajar lainnya pada kelas tersebut dan siswa kelas)

Ø  Tanggal 4 September 2022- 7 September 2022 (pembuatan keyakinan kelas bersama siswa sekaligus menempelkan hasil keyakinan kelas)

Ø  Tanggal 8 September 2022- 14 September 2022 (pengaplikasian keyakinan kelas yang telah dibuat)

Ø  Tanggal 15 September 2022- 17 September 2022 (evaluasi pelaksanaan keyakinan kelas yang telah dijalankan)


Dukungan yang Dibutuhkan

·         Dukungan berupa sarana seperti spidol warna-warni, kertas karton, kertas notes dan paku.

·         Dukungan berupa bantuan dari guru mapel lain yang mengajar kelas tersebut untuk ikut memantau dalam pelaksanaan keyakinan kelas saat pelajaran berlangsung.

Dukungan berupa sarana dapat diperoleh dari sumber daya perlengkapan sekolah melalui izin dari Kepala Sekolah dan bagian Sarana Prasarana. Dukungan tenaga dari guru lain dengan mengajak kolaborasi guru mapel lain melaksanakan budaya positif pada kelas tersebut.


PEMBUATAN KEYAKINAN KELAS




AKSI NYATA PENGIMBASAN BUDAYA POSITIF




Pada modul 1 ini terdapat empat sub bab yang saling berhubungan satu sama lain. Ada 4 hal penting yang terkandung dalam modul satu ini. Pertama, filosofi pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Kedua, nilai dan peranguru penggerak. Ketiga, visi guru penggerak. Keempat, budaya positif.


Sub bab pertama mengenalkan pentingnya filosofi KHD sebagai wawasan dan sudut pandang sebagai seorang guru dalam membimbing murid-muridnya dengan tujuan keselamatan dan kebahagiaan yang dicapai murid nantinya. Hal ini dengan menggunakan pembelajaran yang berpihak pada murid. Sub bab kedua berisi pegamalan nilai yang harus dipegang oleh guru penggerak dalam melakukan pembelajaran yang berpihak pada murid. Selain itu juga peran yang harus dijalankan oleh guru penggerak sebagai pelopor yang menggerakkan dirinya sendiri dan juga orang-orang yang berada di sekitarnya dalam membawa perubahan kea rah yang lebih positif. Sub bab ketiga terkait pembuatan visi oleh guru penggerak. Visi yang dibuat dan muncul dari dalam diri untuk menjadi pegangan dan keyakinan bagi guru penggerak. Visi tersebut menjadi panduan dalam melaksanakan pengembangan murid dalam proses mewujudkan murid impian yang dicita-citakan di masa depan. Sub bab keempat mengenalkan tentang budaya positif yang didasari oleh disiplin positif, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol, keyakinan kelas dan segitiga restitusi. Hal-hal tersebut menjadi dasar dalam menciptakan pembelajaran serta lingkungan yang lebih positif.


Budaya positif adalah menciptakan kondisi lingkungan yang lebih positif yang akhirnya menciptakan pula rasa aman dan nyaman bagi warga sekolah. Budaya positif dapat mendorong murid untuk mampu berfikir, bertindak, dan mencipta sebagai proses memerdekakan dirinya. Sehingga murid lebih mandiri dan bertanggungjawab. Dalam menjalankan budaya positif tidak dapat terlepas dari pemikiran KHD sebagai wawasan yang mengarahkan tujuan dari budaya positif itu sendiri, yakni apapun budaya positif yang dilakukan pada akhirnya menjadi pembelajaran yangberpihak pada murid dan bermuara pada keselamatan dan kebahagiaan murid. Begitu pula dengan nilai dan peran guru penggerak. Budaya positif tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa pemahaman nilai dan peran guru penggerak dengan baik. Bagaimanapun, nilai dan peran yang dipegang dengan utuh akan mengarahkan pendidik dalam berperilaku positif dalam menjalankan budaya positif. Visi guru penggerak juga menjadi komponen penting dalam pelaksanaan budaya positif. Hal ini dikarenakan visi guru penggerak menjadi keyakinan yang tertanam dalam diri dan menjadi bekal yang kuat dalam menghadapi rintangan saat melaksanakan budaya positif.


Budaya positif pada akhirnya akan kembali pada putaran menuju perwujudan filosofi Ki Hajar Dewantara. Budaya positif dengan beragam alat seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia, keyakinan kelas, posisi kontrol dan segitiga restitusi adalah alat bantu dalam melakukan tahapan BAGJA untuk menuju murid yang diimpikan di masa depan. Budaya positif memiliki misi penting untuk memunculkan kesadaran, kepekaan dan keinginan murid yang bersumber dari dalam dirinya. Sehingga dapat memunculkan rasa aman dan nyaman dari dalam diri murid. Di dukung dengan lingkungan yang positif, maka murid akan memiliki kemerdekaan dalam menguatkan potensi yang dia miliki. Pada akhirnya, budaya positif dengan segala komponennya bermuara pada penguasaan murid pada Profil Pelajar Pancasila dan sesuai dengan tujuan nasional pendidikan.


Disiplin positif menjadi pendekatan mendidik anak dalam membentuk kontrol diri dan pembentukan kepercayaan diri sehingga berperilaku sesuai nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik. Teori kontrol membantu memahami pandangan orang lain tentang dunia. Bahwa setiap tindakan memiliki tujuan. Teori ini mengajak kita untuk memahami murid dengan win-win solution. Hukuman dan penghargaan bisa menjadi motivasi yang baik, akan tetapi motivasi terbaik adalah motivasi yang muncul dari dalam diri tanpa terpengaruh oleh hukuman maupun penghargaan. Keyakinan kelas adalah kesepakatan yang bersumber pada nilai universal yang diyakini dan dilaksanakan secara mandiri. Kebutuhan dasar manusia terkadang mempengaruhi pelaksanaan teori-teori di atas, karena kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi dapat menjadikan sesorang tidak seimbang dalam menjalankan kehidupannya.


Posisi kontrol membantu pendidik dalam pendekatan maupun penanganan terhadap ketidakseimbangan perilaku murid dalam proses pembelajaran. Posisi kontrol terbaik adalah dengan memposisikan diri menjadi manajer yang tidak menggunakan hukuman atau membuat rasa bersalah pada diri murid atas kesalahan yang dilakukan. Posisi manajer sangat dibutuhkan dalam melaksanakan segitiga restitusi ketika memberikan pendekatan dan penanganan pada murid. Dengan segitiga restitusi diharapkan murid dapat mendapatkan kekuatan untuk melakukan tanggungjawab dan mencari solusi atas permasalahan. Hal yang menarik bagi saya yakni bahwa ternyata bukan hanya hukuman yang dapat mematikan motivasi intrinsik, tapi penghargaan juga dapat mematikan motivasi intrinsic secara tidak langsung.


Perubahan yang terjadi pada diri setelah mempelajari modul ini lebih pada penerapan keyakinan kelas sebagai pengembangan dalam proses pembelajaran dalam menumbuhkan kesadaran dan control diri selama pembelajaran dan kepekaan terhadap sekitar. Selain itu juga penerapan segitiga restitusi sebagai salah satu cara dalam memunculkan motivasi murid untuk melakukan pertanggungjawaban secara sadar.


Pengalaman terkait konsep inti dari budaya positif sebenarnya sudah diterapkan, hanya saja dalam sebagian kecil. Seperti memberikan peraturan kelas saat pelajaran, hanya saja dalam pembuatannya belum melibatkan murid secara menyeluruh. Selain itu, dalam pelaksanaan tim tertib juga sudah melakukan bagian dari segitiga resitusi, hanya saja pengambilan solusi belum diputuskan atau dimunculkan oleh murid itu sendiri.


Pengalaman tersebut tentu menjadi salah satu acuan yang saya gunakan untuk mengambil apa yang sudah baik dan apa yang perlu disempurnakan sesuai materi yang ada pada modul ini. Sebelum mempelajari modul ini, cara saya berinteraksi dengan murid menggunakan semua posisi kontrol. Posisi penghukum terhadap murid yang sering melanggar peraturan, pembuat rasa bersalah pada murid yang melanggar peraturan di kelas, sebagai teman bagi murid yang memiliki rasa kurang percaya diri, sebagai pemantau bagi murid yang sedang menjalankan tanggungjawab, dan menjadi manajer untuk murid walian di kelas. Setelah memahami modul ini, ternyata posisi manajer dapat diaplikasikan pada berbagai hal untuk menyelesaikan beragam permasalahan.

 


Previous PostPostingan Lama Beranda